PATOGENESIS MALARIA
Menurut
pendapat ahli patogenesis malaria
dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu host. Yang termasuk ke dalam
faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi
parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat
endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status
imunologi. Setelah sporozoit dilepas
sewaktu nyamuk anopeles betina menggigit manusia, akan masuk kedalam sel hati
dan terjadi skizogoni ektra eritrosit. Skizon hati yang matang akan pecah dan
selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra
eritrosit, menyebabkan eritrosit mengalami perubahan seperti pembentukan knob,
sitoadherens, sekuestrasi, dan rosseting. Parasit dalam eritrosit (EP) secara
garis besar mengalami 2 stadium yaitu:
1.
Stadium cincin pada 24 jam pertama :
permukaan EP akan menampilkan antigen ring erytrocite suirgace antigen
(RESA) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.
2. Stadium matur pada 24 jam kedua :
permukaan membran EP akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan histidin
rich protein-1( HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami
merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosil fosfatidil
inositol yang merangsang pelepasan sitokin seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNFα) dan
Interleukin 1 (IL-1) dari makrofag. Penumpukan EP memulai proses patologik
infeksi malaria falsiparum dengan kemampuan adhesi dengan sel lain yaitu
endotel vaskular, eritrosit dan menyebabkan sel ini sulit melewati kapiler dan
filtrasi limpa.
Hal ini berpengaruh terjadinya sitoadherens dan sekuestrasi. Sitoadherensia
dalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum pada
reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga
dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam
sirkulasi. EP matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit
matur yang mengalami sekuestrasi. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital
dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak,
diikuti hepar, ginjal, paru, jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan
utama dalam patofisiologi malaria berat.
Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu eritrosit yang mengandung merozoit matang
yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga
berbentuk seperti bunga. Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau
dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherens.
Terjadinya infeksi oleh parasit
Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu :
1. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung
parasit malaria
2. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam
darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang
baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).
Patofisiologi malaria sangat kompleks
dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit yang
terjadi oleh karena
-Pecahnya eritrosit yang mengandung
parasit
-Fagositosis eritrosit yang
mengandung dan tidak mengandung parasit
Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
2. Pelepasan mediator
Endotoksin-makrofag
Pada proses skizoni yang melepaskan
endotoksin, makrofag melepaskan berbagai mediator endotoksin.
3. Pelepasan TNF
Merupakan suatu monokin yang dilepas
oleh adanya parasit malaria. TNF ini bertanggung jawab terhadap demam,
hipoglikemia, ARDS.
4. Sekuetrasi eritrosit
Eritrosit yang terinfeksi dapat
membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung antigen malaria yang
kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan menempel
pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga terjadi
bendungan.
Perlawanan
tubuh terhadap parasit Plasmodium atau respon imunitas dilakukan oleh imunitas
seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh imunitas humoral melalui limfosit
B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD 4+) dan sitotoksis (CD
8+). Limfosit adalah sel yang cukup berperan dalam respon imun karena mempunyai
kemampuan untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan khusus dan
membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa
hidup limfosit yang panjang menjadikan sel yang ideal untuk 9,10 respons
adaptif.
Eritrosit
yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen presenting cell
(APC) dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu
dengan lisosom sehingga terbentuk fagolisosom. Fagolisosom mengeluarkan
mediator yang akan mendegradasi antigen Plasmodium menjadi peptida-peptida yang
akan berasosiasi dengan molekul MHC II (major histocompatibility complex) dan
di 4presentasikan ke sel TCD . Saat berlangsungnya proses tersebut APC
mengeluarkan interleukin-12 (IL-12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40
saat presentasi antigen memperkuat produksi IL- 12. IL-12 ini akan mempengaruhi
proliferasi sel T yang merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan
selanjutnya menyebabkan aktivasi dan deferensiasi sel 11,12T.
Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dibedakan
menjadi dua subset yaitu Th1 dan Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-ã dan TNF-áyang
mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag, monosit, serta sel
NK,9 sedangkan subset yang kedua adalah Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10. Sitokin berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD 4+ berfungsi
sebagai regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktivasi
fagosit-fagosit lain, sedangkan CD 8+ berperan sebagai efektor langsung untuk
fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan
IFN-ã. Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan mulai dianggap
asing oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasit
Plasmodium
akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji
antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD 4+, kemudian berdeferensiasi
menjadi sel Th- 1 dan Th-2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang
memacu pembentukan Ig (Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig meningkatkan
kemampuan fagositosis makrofag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar