Kamis, 20 Agustus 2015

Patogenesis (Reaksi Imun) MALARIA



PATOGENESIS   MALARIA

Menurut pendapat ahli  patogenesis malaria dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu host. Yang termasuk ke dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi.  Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopeles betina menggigit manusia, akan masuk kedalam sel hati dan terjadi skizogoni ektra eritrosit. Skizon hati yang matang akan pecah dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrosit, menyebabkan eritrosit mengalami perubahan seperti pembentukan knob, sitoadherens, sekuestrasi, dan rosseting. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium yaitu:
1. Stadium cincin pada 24 jam pertama :  permukaan EP akan menampilkan antigen ring erytrocite suirgace antigen (RESA) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.
2. Stadium matur pada 24 jam kedua : permukaan membran EP akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan histidin rich protein-1( HRP-1) sebagai komponen utamanya.  Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosil fosfatidil inositol yang merangsang pelepasan sitokin seperti  tumor nekrosis faktor alfa (TNFα) dan Interleukin 1 (IL-1) dari makrofag. Penumpukan EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum dengan kemampuan adhesi dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan menyebabkan sel ini sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa.
 Hal ini berpengaruh terjadinya  sitoadherens dan sekuestrasi. Sitoadherensia dalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. EP matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti hepar, ginjal, paru, jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.  Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu  eritrosit yang mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherens.
Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu :
1. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria
2. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).
Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena
-Pecahnya eritrosit yang mengandung parasit
-Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit
Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
2. Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag
Pada proses skizoni yang melepaskan endotoksin, makrofag melepaskan berbagai mediator endotoksin.
3. Pelepasan TNF
Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria. TNF ini bertanggung jawab terhadap demam, hipoglikemia, ARDS.
4. Sekuetrasi eritrosit
Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung antigen malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan menempel pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga terjadi bendungan.


Perlawanan tubuh terhadap parasit Plasmodium atau respon imunitas dilakukan oleh imunitas seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh imunitas humoral melalui limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD 4+) dan sitotoksis (CD 8+). Limfosit adalah sel yang cukup berperan dalam respon imun karena mempunyai kemampuan untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan khusus dan membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa hidup limfosit yang panjang menjadikan sel yang ideal untuk 9,10 respons adaptif.
Eritrosit yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen presenting cell (APC) dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu dengan lisosom sehingga terbentuk fagolisosom. Fagolisosom mengeluarkan mediator yang akan mendegradasi antigen Plasmodium menjadi peptida-peptida yang akan berasosiasi dengan molekul MHC II (major histocompatibility complex) dan di 4presentasikan ke sel TCD . Saat berlangsungnya proses tersebut APC mengeluarkan interleukin-12 (IL-12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat presentasi antigen memperkuat produksi IL- 12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T yang merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya menyebabkan aktivasi dan deferensiasi sel 11,12T.
 Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dibedakan menjadi dua subset yaitu Th1 dan Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-ã dan TNF-áyang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag, monosit, serta sel NK,9 sedangkan subset yang kedua adalah Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Sitokin berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD 4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit-fagosit lain, sedangkan CD 8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-ã. Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan mulai dianggap asing oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasit
Plasmodium akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD 4+, kemudian berdeferensiasi menjadi sel Th- 1 dan Th-2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig (Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar